“Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan
berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh
dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri,
(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir,
dan Menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka.
dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafir (atas nikmat-nikmat
Allah) siksa yang menghinakan.” (Qur'an surah An Nisa' ayat 36-37).
Suami
adalah seorang lelaki sekaligus kepala keluarga. Berbicara tentang
keluarga paling tidak sebuah keluarga terdiri dari seorang kepala
keluarga yakni seorang suami dan seorang isteri. Bisa jadi sebuah
keluarga ditambah dengan beberapa orang anak. Inilah yang masyhur dalam
benak setiap orang ketika dia mendengar kata ‘keluarga’ disebutkan orang
kepadanya. Dengan demikian, tertanamlah dalam benak setiap orang bahwa
keluarga adalah suami, isteri, dan anak. Demikianlah lazimnya selama ini.
Benarkah
keluarga hanya terdiri dari tiga anggota seperti yang disebutkan
diatas? Dalam Islam, yang disebut keluarga lebih lebar dari itu. Ayah
dan ibu sang suami termasuk di dalamnya, bahkan memperoleh porsi yang
lebih utama dan lebih luas. Hal ini sering terabaikan bahkan terlupakan
sama sekali akibat persepsi yang salah tentang arti keluarga selama ini.
Sehingga seorang suami hanya merasa berkewajiban menghidupi isteri dan
anak-anaknya saja. Ketika keperluan pokok bagi isteri dan anak telah
terpenuhi, sang suami mulai menumpuk harta sebagai investasi masa depan
bagi isteri dan anak-anaknya. Sedangkan kedua orangtua kalaupun
disantuni hanya terbatas pada saat-saat tertentu seperti saat lebaran
tiba dua kali dalam setahun. Tragis, bukan..?
Sebenarnya
bagi seorang suami kedua orang tua jauh lebih wajib dan mesti
didahulukan daripada isteri dan anak kandung. Hal ini tergambar dalam
hadis Nabi yang berbunyi: “Ridha Allah tergantung kepada ridha orang tua.” Artinya setinggi dan sebanyak apapun amal seorang lelaki terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala, akan menjadi rusak binasa jika orang itu menyia-nyiakan orangtuanya, yang menyebabkan dia tercatat sebagai anak durhaka.
Isteri dan anak memang wajib dinafkahi oleh seorang suami, namun ibu dan bapaknya lebih wajib dinafkahi. Sebuah hadis Nabi secara nyata menjelaskan hal ini. Hadis itu berbunyi, “Dari
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata dia, “Aku bertanya kepada Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai Rasulallah, siapakah orang yang
paling besar haknya atas seorang wanita? Beliau menjawab: “Suami wanita
itu.” Aku bertanya lagi: “Siapakah yang paling besar haknya atas seorang
laki-laki?” Rasulullah menjawab: “Ibu laki-laki itu.” (Hadis Riwayat Imam Hakim, dalam kitab Al Mustadrak jilid 4 halaman 150).
Jelas
sekali seorang laki-laki yang telah menjadi seorang suami lebih wajib
menyelesaikan urusan keperluan sang ibu baru lelaki itu berkewajiban
menyelesaikan urusan sang isteri. Tentu saja tidak berarti karena
mengurus sang ibu, lelaki itu lantas menyia-nyiakan isterinya.
Masing-masing memiliki hak yang wajib ditunaikan secara ma’ruf (baik). Dalam hadis yang lain, seorang sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, siapakah yang paling berhak memperoleh pelayanan dariku?” Rasulullah menjawab, “Ibumu..Ibumu…kemudian Ibumu, kemudian bapakmu, kemudian yang lebih dekat kepadamu (isteri dan anak), kemudian yang lebih dekat kepadamu (kaum kerabat).” (Hadis Riwayat Bukhari Muslim)
Demikian
mulianya Islam meletakkan tanggung jawab kepada seorang suami. Hak-hak
mereka secara rapi dan berurutan telah dijelaskan oleh Baginda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadis-hadisnya yang mulia. Jika diurutkan kewajiban seorang suami dalam Islam adalah sebagai berikut; 1. Mengurus ibu, 2. Mengurus bapak, 3. Mengurus Isteri dan anak, 4. Mengurus kerabat. Subhanallah…
Karena
ketidaktahuan kaum muslimin atas ajaran Islam, kadang-kadang seorang
isteri merasa kedua mertuanya (orangtua sang suami) adalah saingannya
dalam memperebutkan pelayanan dan harta serta kasih sayang dari sang
suami. Kemudian karena ketamakan yang tumbuh di hati sang isteri
tersebut, dia akan meradang jika kedua mertuanya bertindak sedikit saja
mengambil harta suaminya. Seolah-olah kedua mertuanya ‘merampas’ sesuatu
yang semestinya menjadi bagian dan miliknya sendiri. Padahal jika
sekedar makan dan pakaian tidaklah perlu menjadi perhitungan bagi sang
isteri itu.
Nabi bersabda dalam sebuah hadisnya, “Ibu
dan bapak berhak memakan sesuatu dari harta milik anak mereka dengan
cara yang baik. Seorang anak tidak boleh memakan sesuatu dari harta ibu
bapaknya, kecuali dengan izin keduanya.” (Hadis Riwayat Imam Ad
Dailami). Artinya, sebagai ilustrasi, jika suatu hari secara
‘iseng-iseng’ seorang ibu atau bapak datang ke rumah anak lelakinya yang
sudah berkeluarga, kemudian mereka mendapati ada makanan lezat
terhidang di meja makan rumah anaknya itu. Kedua orangtua ini berhak
menikmati sebagian dari makanan itu tanpa meminta izin kepada anak
lelaki dan menantu wanitanya. Andaikata pun ini terjadi, tidaklah mesti
sang isteri merasa tersinggung atau merasa dilecehkan oleh mertuanya
itu.
Dalam hadis yang lain, Rasulullah bersabda kepada seorang lelaki: “Kamu dan hartamu adalah milik bapakmu!” (Hadis Riwayat Abu Dawud, dan Imam Syafi’i). Dalam hadis yang lain juga, Rasul bersabda, “Janganlah kamu mengabaikan orangtuamu. Barangsiapa mengabaikan orangtuanya, maka orang itu telah kufur (yakni berdosa besar).”
(Hadis Riwayat Muslim). Kelak jika ternyata suami wafat lebih dahulu
dari isteri dan ibu-bapaknya, maka Islam memberikan hak 1/8 bagian dari
seluruh harta sang suami itu sebagai warisan untuk isterinya. Adapun ibu
dan bapak sang suami mendapatkan bagian warisan sebesar 1/6 dari harta
peninggalan anak lelakinya itu. Bandingkan, ternyata bagian kedua
ibu-bapak lebih besar daripada bagian sang isteri.
Betapa
besarnya hak orangtua terhadap seorang anak lelakinya meskipun anaknya
tersebut telah menjadi seorang kepala keluarga. Benar, menafkahi isteri
dan anak merupakan kewajiban seorang suami dalam Islam, namun kewajiban
itu tidak mesti menghilangkan kewajiban sang suami terhadap kedua
orangtuanya. Bagaimanapun, keduanya dapat berjalan beriringan tanpa
mesti satu dan lainnya dipertentangkan. Kedua orangtua diurus secara
baik dan akan menjadikannya sebagai sebuah amal yang mulia di dunia
serta menjadi ‘tiket’ untuk masuk ke surga Allah di akhirat kelak.
Sementara isteri dan anak juga merupakan lumbung pahala bagi seorang
suami. Apalagi Rasul telah berjanji bahwa seorang suami yang bersedekah
kepada anak dan isterinya, akan mendapatkan pahala dua kali lipat lebih
besar jika dibandingkan dengan sedekahnya kepada fakir miskin.
Jika
setiap suami menyadari bahwa menafkahi kedua orangtuanya merupakan
‘tiket’ untuk masuk surga, pastilah lelaki itu akan bersusah payah
mendapatkan ‘tiket’ surga itu. Hatinya akan senang riang dan gembira
untuk mengeluarkan sebagian dari harta miliknya, kepada kedua
orangtuanya. Sebaliknya, sang isteri jika benar mencintai suaminya
dengan tulus pastilah isteri tersebut akan sangat gembira pula melihat
suaminya membeli ‘tiket’ ke surga. Mustahil seorang isteri mengatakan cinta
kepada suaminya tetapi dalam kehidupan sehari-hari sang isteri secara
mati-matian mencoba menghalangi sang suami yang hendak membeli ‘tiket’
ke surga. Dalam hal ini, berupa pelayanan kepada ibu-bapaknya.
Dan jika suami-isteri telah menyadari bahwa menyantuni orangtua, merawat serta menafkahi mereka adalah kewajiban dari Allah dan sekaligus tiket masuk surga, manalah mungkin keduanya sampai hati ‘bermain kucing-kucingan’
berusaha menyembunyikan hartanya dari kedua orangtua mereka agar kedua
orangtua mereka itu tidak punya kesempatan meminta harta mereka.
Menyembunyikan harta dari kedua orangtua, atau dalam istilah yang
popular sekarang ini ‘berpura-pura miskin’ adalah sebuah tindakan bodoh dan dimurkai Allah. Bodoh karena membakar tiket ke surga; dimurkai Allah karena sebuah tindakan kufur atas nikmat yang telah diberikan oleh Allah melalui kedua orangtuanya. Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “…Menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka…” (surah An Nisa’ ayat 37).
Wallahu a’lam bishshowab
sumber : http://tengkuzulkarnain.net/index.php/artikel/jubah/rumah-tangga/74/kewajiban-seorang-suami.html
No comments:
Post a Comment